1/08/2016

Mulai Menghargai Diri Sendiri

Jamak terjadi, setelah menikah, seorang perempuan tidak lagi punya banyak waktu untuk dirinya sendiri. Ia tidak bisa atau tidak punya kesempatan lagi untuk mengasah kemampuannya lebih baik lagi. Ini adalah catatan dan tips singkat tentang bagaimana cara menghargai diri sendiri.

Mulai Menghargai Diri Sendiri

Mungkin karena kita tinggal di Indonesia dan dibombardir dengan nasehat bahwa perempuan harus pandai-pandai mengabdi dan menyenangkan suami, maka setelah menikah dan punya anak, semua konsentrasi dialihkan ke kepentingan suami sebagai pencari nafkah utama di dalam rumah tangga.

Banyak perempuan yang berhenti setelah menikah, entah karena suaminya kaya raya, atau sering traveling sehingga sulit untuk membina karir, atau suami lebih suka istri di rumah dan mengurus anak dan sebagainya. Suatu pengorbanan untuk membuat rumah tangga mulus dari pihak perempuan.

Kalau saya pribadi, saya tidak bisa membayangkan untuk tidak bekerja. Saya dulu kuliah di ITB, disubsidi oleh rakyat. Itu ada beban moral sendiri, paling tidak rakyat berharap saya mengembalikan sesuaitu dari ilmu saya (at least bayar pajak).

Kedua, saya sekolah di Amerika, itu pontang-panting karena dapat beasiswa. Tahu dong, mahasiswa yang dapat beasiswa dan jadi expat di sana kan beda gaya hidupnya dengan yang dengan biaya dari orangtua: hidup pas-pasan, malah suka cari tambahan dengan kerja jadi asisten dosen.

Bisa-bisanya setelah 15 tahunan ada di posisi sekarang juga dengan air mata dan darah: ambisi dan kerja keras including tidak tidur 2 malam di rig. Apa saya bisa ya, mengorbankan posisi saya sekarang untuk seorang laki-laki setelah saya invest sekian banyak terhadap diri sendiri?

Yang lebih apesnya, ada beberapa kawan yang tidak bahagia dalam perkawinannya dan datang menanyakan pengalaman saya waktu cerai. Perceraian saya sangat simple. Kami berdua sadar perkawinannya tidak jalan, maka kami pisah.

Saya bawa hampir semua barang yang saya punya saja. Barang-barang yang kita beli berdua yang saya ikhlaskan sajalah. Bisa dibeli lagi.

Nah, ketiga teman saya itu berhenti bekerja karena disuruh suami, atau karena pekerjaan yang waktu itu bisa di-compensate sama uang dari suami.

Tetapi ketika suami menyeleweng, atau main tangan, lama betul ambil keputusannya. Salah satunya adalah faktor ekonomi. “Gue mau ngapain, udah lama ngga kerja. Anak gue gemana nanti?”.

Wah, kalau sudah begini, rasanya ingin memberi nasihat ke keponakan saya; biarpun bagaimana, berusahalah belajar keras dan jangan tergantung orang dalam hal finansial.

Kerja, walaupun gajinya mungkin tidak seberapa, membuat seseorang merasa exist. Kalau mau beli barang, tidak perlu minta suami terus-terusan. Apalagi kalau kita senang bekerja dan mempraktekkan apa yang kita pernah pelajari dan menghasilkan uang.

Apa iya worth it untuk dikorbankan? Bagaimana kalau terjadi sesuatu terhadap suami, misalnya meninggal suaminya? Bagaimana lagi kalau cerai yang jelas lebih ribet urusannya? Paling tidak, punya tabungan sendirilah, supaya ada pegangan untuk diri sendiri.

Di sini, menurut saya, kerja itu bagian dari menghargai diri sendiri. Salah satu bargaining point. Lebih gamblangnya lagi, walaupun kita tidak kerja dan tidak berpenghasilan, kita itu juga penting.

Mempunyai penghasilan sendiri membuat kita lebih mudah apabila membutuhkan bantuan pengacara atau mulai hidup single kembali. Mempunyai tabungan terpisah (saya dulu tabungannya ada yang join, ada yang terpisah) adalah hal yang smart sehingga bila ada apa-apa paling tidak satu masalah teratasi.

Lebih dari itu, kita sebagai perempuan timur yang sering di-dogma untuk nunut dan berbakti kepada suami. Harus diperbaiki bagaimana cara berbakti dan nunut itu. Definisinya harus dirubah.

Di dalam buku nikah, fungsi suami dan fungsi istri sangat bias, di mana istri harus mendukung suami. Tetapi apakah ada yang mengatakan suami juga harus mendukung istri juga kalau istri bekerja? Coba simak buku nikah halaman akhir.

Ada satu kawan, sebutlah namanya Ratna. Walaupun berkali-kali suami menyeleweng, dia tetap bertahan. Penyelewengan terakhir, dia mulai tidak tahan dan mulai menata hidupnya sendiri. Jiwanya goncang, walaupun dia mulai mencari pekerjaan setelah 5 tahun tidak bekerja.

Dia ingin periksa kesehatannya karena suami tukang jajan, tetapi mahal, takut suami marah. Lha?! Your health is more important here, kata saya. So, he has to pay for that check up. So it’s expensive, so what? Dia musti bayar dong!

Ada lagi yang setelah di-abuse selama 10 tahun tetap mengatakan ‘cinta’ dan tampak seperti mawar dari luar tetapi granat di dalam yang siap meledak masih bertahan demi anak-anak.

Saya tidak punya anak. Tetapi menurut saya, kalau saya tidak bahagia, saya tidak bisa membuat anak saya bahagia. Mereka tahu, mereka punya nalar ada yang tidak beres dengan orangtua mereka.

Lagian, nilai apa yang akan kita berikan kepada anak-anak bila suami diberi izin menyeleweng terus? Bahwa menyeleweng itu tidak apa-apa kalau istrinya tidak financially independant?

Kadang kita sering bertahan karena tekanan lingkungan, keluarga, status, dan mengorbankan kebahagiaan diri sendiri. Sampai kapan?

Motto saya dulu: saya akan bertahan kawin asalkan keputusan-keputusan yang diambil tidak mengancam kesehatan dan nyawa saya. Begitu itu tidak terpenuhi, saya walk out.

Karena hidup hanya sebentar. Our happiness and peace of mind is worth it. Kitapun harus dihargai karena kitapun seorang individu yang perlu dihargai. Bagaimana kita mau dihargai kalau kita sendiri tidak menghargai diri kita sendiri?

Sedikit tips untuk kaum wanita:
  1. Punya simpanan sendiri. Jangan 100% tergantung secara finansial terhadap suami.
  2. Kerja! Kalau memungkinkan, cobalah mencari rupiah (atau dollar) sendiri sehingga kita punya jaminan bila terjadi sesuatu terhadap suami.
  3. Selalu mempunyai hobby sendiri. Selalu hargai keinginan kita (bukan dengan cara belanja on your hubby’s expense, tapi kembangkan kesenanganmu).
  4. Selalu mengasah intelegensia dan mengikuti perkembangan ilmu dan berita.
  5. Jangan izinkan siapapun mengatakan bahwa Anda tidak berharga.
  6. Hargai diri sendiri, walaupun ada anak. Justru karena ada anak maka Anda harus memberi contoh bagaimana mempunyai prinsip dan menghargai diri sendiri.
  7. Bertanggung jawab terhadap keluarga tetapi juga terhadap diri sendiri. Shape up, groom yourself, make yourself interesting.
  8. Cinta musti dipupuk tetapi cinta juga ada batasnya. Kalau sudah menyakiti dan makan hati, ada satu pihak yang tidak lagi menghargai cinta Anda.
  9. Jangan sampai perkawinan mengancam kesehatan jiwa dan fisik Anda. Itu bukan perkawinan yang sehat.
  10. Tetap ingat bahwa Anda adalah individu. Kerap kali orang mengatakan perkawinan adalah dua jadi satu, yang mana saya tidak setuju karena dua individu tidak mungkin jadi satu. Yang bisa adalah, kedua individu saling melengkapi untuk menjadi individu yang lebih sempurna.

(Origin: Janda Kaya)

Anda juga bisa menuliskan dan berbagi dengan seluruh sahabat pembaca "TJanda". Menulislah sekarang dan kirimkan melalui halaman Kontak.